Hanya bila
pohon terakhir telah tumbang ditebang.

Hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar.

Hanya bila ikan terakhir telah ditangkap.

Barulah kita sadar bahwa uang di tangan tidak dapat dimakan.







Perangko Edisi 2006 Tentang Lingkungan Hidup




Kalimat diatas saya petik dari kata mutiara
Suku Indian di Amerika Utara, kalaulah kita cermati lebih mendalam lagi betapa
dalam dan besarnya arti makna dari kalimat tersebut, benarlah kiranya kekayaan
yang di hasilkan oleh alam tak bisa diukur dengan uang kalaulah segalanya telah
habis apa gunanya uang setinggi gunung bagi kita? Walaupun tak bisa kita
pungkiri pertambahan penduduk manusia begitu pesat dan secara otomatis
kebutuhan juga meningkat pula, namun pada dasarnya manusia bisa berdampingan
dengan alam kalaulah ego manusia bisa dikurangi sedikit saja demi generasi yang
akan datang.









Untuk menjawab tantangan itu maka empat puluh tiga
tahun yang lalu, tepatnya 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. PBB mendorong
kerjasama Internasional dengan mengadakan konverensi yang membahas tentang
lingkungan hidup dunia. Indonesia juga ikut andil dalam konverensi tersebut
dengan hadirnya Bapak Prof. Emil Salim.









Dengan diadakannya konverensi di Stockholm, Swedia.
tanggal 5 juni 1972 maka setiap tanggal 5 juni kita memperingati hari
lingkungan hidup se-dunia, lalu apa itu hari lingkungan hidup? Saya sendiri
juga tak begitu familier akan hal ini dan juga tak paham pula maksudnya, sampai
saya membaca sebuah brosur lomba blogger yang di adakan Bapedal Aceh dengan
tema ISU-ISU LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH, maka timbul lah rasa ingin tau
saya dan jiwa blogger saya tergerak untuk ikut dalam perlombaan ini, mulai lah
saya mencari-cari segala info dan sumber di mesin pencarian Google mengenai
hari lingkungan hidup, dapatlah saya gambaran bagaimana sejarahnya dan
perkembangannya. 









Pencetus awal dari hari lingkungan hidup se-dunia
adalah Gaylord Nelson, seorang senator Amerika Serikat. Sebenarnya hari lingkungan
hidup ada setelah 2 (dua) tahun sejak dicetuskannya hari bumi 22 April 1970, di
mana Gaylord Nelson melihat betapa parahnya dunia saat itu yang sudah tercemar
oleh tumpahan minyak, pabrik-pabrik dan pembangkit listrik penyebab polusi,
buruknya saluran pembuangan, pembuangan bahan-bahan berbahaya, pestisida, jalan
raya, hilangnya hutan belantara, serta semakin punahnya kehidupan liar
mendorongnya untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki kesalahan dan menebus dosa
manusia dimasa lalu, maka dengan ide Gaylord Nelson, para  politikus di
perlemen Amerika serikat yang terdiri dari partai Demokrat dan Republik sepakat
pada tahun 1970 mendirikan Environmental Protection Agency/US EPA (sebuah badan
perlindungan lingkungan Amerika).









Dengan membaca artikel-artikel tentang lingkungan
hidup maka tergugah lah hati saya untuk membuat sebuah artikel pula mengenai
kondisi lingkungan hidup di kabupaten Aceh Tenggara, kabupaten asal saya.
Semoga dengan artikel saya kali ini bisa menggugah banyak para pembaca
khususnya warga kabupaten Aceh Tenggara dan warga Aceh umumnya untuk bisa lebih
perduli lagi akan isu-isu lingkungan hidup dan bisa berdampingan secara
harmonis dengan alam yang begitu kaya yang dikaruniai oleh Allah kepada kita
umat manusia.











Salah satu sudut kaki Gunung Leuser di Ketambe

C: Riduwan Philly


Sungaiku Tak Manis Lagi


Saya lahir dan
besar di tanah ini. negeri seribu mata air tawar, saya sering sebut jika
memperkenalkan diri kapada teman yang baru saya kenal, bukan tanpa alasan, itu
merupakan suatu kebanggaan bagi saya. Disini, air tawar sangat mudah didapati
hampir diseluruh sudut di tanah ini terdapat sumber mata air yang keluar dari
celah-celah batu kapur Bukit barisan yang akan menjadi sungai-sungai kecil
sumber air minum seluruh penduduknya, karena berasal dari celah-celah batu
kapur maka air yang memancar dari batu kapur tersebut tak payah lagi untuk
dimasak terlebih dahulu karena sudah tersaring secara alami oleh alam, sungguh
itu karunia Allah yang sangat luar biasa dan patut kita syukuri karena tubuh kita
70% nya berisikan air bukan?





Tak hanya
Sungai-sungai kecilnya saja, di sini juga terdapat dua Sungai besar, Sungai
Alas dan Sungai Bulan yang mata airnya terpancar dari puncak Gunung Leuser.





Sungai Alas
merupakan Sungai terpanjang di Provinsi Aceh yang bermuara di Samudra Hindia dan
sudah sangat tersohor namanya bagi para pecinta arung jeram dengan grade 3-4.
Sedangkan Sungai Bulan atau biasa juga disebut dengan kali bulan atau Lawe
bulan berada tak begitu jauh dari Sungai Alas, Kali bulan ini relatif lebih
kecil dan arusnya  tak seganas Sungai Alas, di pinggiran kali bulan inilah
saya tumbuh dan besar.





Masih segar
ingatan saya sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar bagaimana bahagianya
mandi dan mencari ikan-ikan kecil seperti ikan Mujair, Ikan dundung dan kalau beruntung bisa dapat
ikan Mas yang lepas dari tambak ikan yang jumlahnya cukup banyak dan berada tak
begitu jauh dari rumah saya.




Kalaulah musim
hujan telah tiba, akan menjadi hari raya ke-3 bagi kami kala itu setelah Idul
adha dan Idul Fitri, karena volume air sungai Bulan akan meningkat sangat
segnifikan tetapi masih dalam kategori aman bagi anak-anak seumuran kami,
seluruh anak-anak yang berada didekat kali Bulan akan turun ke kali membawa
pelampungnya masing-masing ada anak orang kaya akan membawa pelampung khusus
yang dibeli dari kota Medan, bagi anak yang ekonomi menengah akan membawa ban
dalam yang sudah diisi angin nah bagi anak yang dibawah ekonomi menengah
seperti saya akan berputar otak karena seperti apapun merengeknya saya meminta
kala itu pasti takkan dibelikan maka dengan lugunya saya membawa 2 buah gabus
bekas alat-alat elektronik yang saya lekatkan di kedua lengan saya agar bisa mengapung
diatas permukaan kali ehehehe.




Namun, semua keseruan itu kini hanyalah menjadi sebuah kenangan manis yang sulit untuk terulang kembali. setelah saya tamat Sd, saya sudah dilarang oleh ibu untuk tidak lagi mandi dan bermain di pinggir kali bulan., sangat heran tak mengerti kenapa saya bisa dilarang, padahal selama ini tak pernah terjadi suatu hal buruk menimpa saya atau teman-teman lainnya selama mand dan bermain disana.



Semakin dewasa dan semakin bertambah pengalaman pula maka mulai lah sadar dan mengerti mengapa ibu melarang mandi dan bermain di kali bulan, karena air kali tak lagi ramah seperti dulu bagi anak-anak. Dulu kata orang-orang
tua sebelum derasnya pendatang dan meningkatnya jumlah penduduk 
Kabupaten Aceh Tenggara, kali bulan memiliki fungsi banyak hal bagi
penduduknya selain tempat MCK, Kali bulan bahkan dikonsumsi sebagai air minum.




Namun, kini sirna sudah seiring bertambahnya penduduk dan derasnya pendatang ke Kabupaten Aceh Tenggara, air
kali bulan sudah menjadi sangat tercemar dikarenakan perbuatan
manusianya, seperti membuang sampah ke kali, pembuangan alat-alat
kedokteran seperti infus, suntik bekas, obat-obat darluasa, bahkan alat
kontrasepsi juga dibuang ke kali.
  Mencuci baju dan piring. penebangan liar dihutan dan diperparah lagi masyarakatnya belum memiliki budaya dan kesadaran membuat MCK pribadi, sehingga segalanya dibuang begitu saja ke kali. Jangankan untuk diminum sekarang ini, airnya jika  tersentuh oleh orang yang tak terbiasa menyentuhnya akan menimbulkan
gatal-gatal pada kulit, ikan-ikan seperti mujair dan ikan mas tak mampu hidup
lagi dan digantikan dengan ikan sapu-sapu yang lebih tahan dengan air yang
tercemar, dan para penambak ikan air tawar kini sudah gulung tikar karena
banyak merugi, dan yang membuat saya betambah kecewa tak lagi bisa saya dapati
anak-anak tertawa bahagia seperti saya kala itu dalam menikmati kali bulan yang
separuh hidup saya berada didekatnya.







Masyarakat sedang melakukan

aktifitas MCK di Tepi Kali Bulan

C: Sapti Andri Selian (Fb)

 





Banjir Bandang dan Kekeringan Menjadi Bom Waktu 

Tahun
2010 silam terjadi banjir bandang besar yang menerpa kabupaten Aceh
Tenggara, menimbulkan puluhan rumah hanyut, rusak parah dan hilangnya
belasan nyawa
.




Banjir
bandang sebenarnya tak hanya sekali itu saja terjadi, peristiwa ini
berulang-ulang kali terjadi meski tak separah 2010 silam.




Menurut
mentri kehutanan masa itu, bapak M.S Kaban, penyebab banjir bandang di
Kutacane, kabupaten Aceh Tenggara tahun 2010 adalah akumulasi dari
penebangan-penebangan di kawasan hutan dimana masyarakatnya selain
melakukan ilegal loging, pembukaan lahan perkebunan baru, dan juga
melakukan penebangan secara serampangan terhadap pohon kemiri yang
akarnya sangat kuat dalam menahan derasnya air hujan dan juga mampu
menjaga ekosistem hutan, warga setempat menggantikannya dengan
pohon-pohon komoditi baru andalan kabupaten Aceh Tenggara seperti pohon
kakao atau Coklat
.





Selain Banjir bandang yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi,kekeringan
juga tak kalah menakutkannya bagi penduduk yang berada di dekat atau
pinggiran kali bulan, termasuk pula keluarga saya. Apabila  musim
kemarau tiba biasanya volume air kali bulan sebatas dengkul orang
dewasa, kini jangankan bisa dapat sedengkul, setumit pun sudah sangat Alhamdulillah
dan lebarnya kini saat kemarau bisa seperti lebar parit atau selokan
rumah warga. Lalu bagaimana jika musim penghujan tiba? pasti kalian
sudah dapat menduga apa yang terjadi selanjutnya, iya banjir besar pun
datang dengan derasnya membawa lumpur dan kayu-kayu dari hutan. Usut
punya usut kayu yang saya lihat itu bukanlah kayu murahan, banyak
kayu-kayu yang hanyut adalah sejenis kayu mahoni dan kayu-kayu berumuran
sangat tua yang merupakan sisa-sisa dari ilegal loging dari hutan yang
setiap harinya ada 30 sampai 40 truk keluar masuk kabupaten Aceh
Tenggara membawa kayu glondongan. 







Banjir Bandang tahun 2010 di Kecamatan Semadam

Kabupaten Aceh Tenggara, C: Liputan6sctv


Solusi Saya Sebagai Putra Daerah

 

Melihat fakta-fakta dan permasalahan yang telah terjadi
di atas perlulah kiranya suatu solusi dan kebijakan baru dalam menghadapi
permasalahan yang kita hadapi dewasa ini, bagaimanapun kebutuhan manusia
terhadap alam tak bisa kita hilangkan tetapi kita bisa mencari solusi untuk
menghadapinya.






Solusi saya sebagai putra daerah adalah dengan
pembangunan MCK, tempat sampah di setiap kampung pinggiran sungai, dan
melakukan sosialisasi agar budaya buang sampah, mencuci, mandi dan buang air
besar di sungai mulai ditinggalkan, karena sebenarnya pemkab Aceh Tenggara
bukannya tidak bertindak, sudah banyak 
MCK dan tempat sampah didirikan namun pengelolaannya yang masih kurang
baik, dan kebanyakan asumsi dari warga lebih nyaman melakukan kegiatan
Mandi,cuci,kakusnya di sungai, sudah menjadi tradisi katanya.




Bagi penebangan liar dan pembukaan lahan baru di hutan,
solusi saya bisa dilakukan pelatihan-pelatihan terhadap warga yang bekerja di
hutan dengan melatih mereka kerajinan tangan seperti pembuatan kain kerawang
gayo, tikar adat, baju adat Alas-Gayo dan lain-lain, serta penggalakan sektor
pariwisata juga bisa menjadi solusi ampuh jika serius dikelola karena di kabupaten
ini punya banyak objek wisata yang unik seperti Taman Nasional Gunung Leuser,
Arung jeram Sungai Alas, Bukit Gurah, sumber air panas, serta kebudayaan yang
Heterogen. Jika itu semua sudah dimaksimalkan maka kelestarian hutan di
Kabupaten Aceh Tenggara insya Allah akan tetap terjaga nantinya, karena
masyarakatnya sudah memiliki pengetahuan akan alam dan pekerjaan yang ramah
lingkungan pula, dan ancaman kekeringan serta banjir bandang tak menjadi hal
yang dirisaukan oleh warga sepakat segenep ini.





Sumber :


  • http://bapedal.acehprov.go.id/lomba-menulis-artikel-lingkungan-bagi-blogger-dalam-rangka-hlhs-2016/

  • http://news.liputan6.com/read/111159/kaban-banjir-kutacane-akibat-penebangan-kayu-liar

  • http://www.hpli.org/gaylord.php